Berikut ini adalah sekelumit
cerita mengenai perjalanan kami berkeliling Sulawesi melalui jalan darat.
Perjalanan kami mulai dari Jakarta pada 15 Desember 2017 dan berakhir kembali
di Jakarta pada 1 Januari 2018. Seperti pada perjalanan-perjalanan lintas pulau
kami sebelumnya, kami masih menggunakan kendaraan berupa Nissan XTrail T30
keluaran tahun 2005. Anggota kami tetap terdiri dari saya (Yasser, 46 th), anak
saya Alix, 16 th dan Krisna, 46 th, ditambah seorang teman saya semasa SD,
Muslim, 46 th.
15 Desember 2017
Setelah mengisi penuh tangki
BBM, saya dan Alix berangkat menuju
Surabaya pada pukul 9 pagi. Kondisi jalan lancar hanya sampai sekitar tol
Cawang, setelah itu kondisi merayap bahkan hingga pukul 10.30 kami masih berada
di sekitar Bekasi Timur. Akhirnya kami putuskan untuk berhenti di Rest Area Km 19 untuk makan siang lebih
awal sekaligus shalat Jumat.
Pukul 17.15 kami mampir di Warung
Sate Kambing Batibul Bang Awi di kota Tegal yang menurut kami well recommended sebagai tempat kuliner
yang patut disinggahi jika melintas di kota ini. Selepas shalat magrib di
masjid dekat tempat makan kamipun melanjutkan perjalanan.
Sisa perjalanan kami tidak
mengalami kesulitan apapun, alhamdulillah, pukul 05.30 kami tiba di Surabaya.
16 Desember 2017
Saya dan Alix pergi ke kantor PT
Sarwa Tri Jaya di kawasan Tanjung Perak yang merupakan agen penjualan tiket
kapal PT Dharma Lautan Utama yang melayani penyeberangan Surabaya – Makassar
dengan kapal ro-ro. Setelah mendapatkan tiket dan informasi mengenai jadwal
keberangkatan dan kapan kami harus siap di dermaga kamipun berbelanja keperluan
logistik untuk perjalanan.
17 Desember 2017
Pukul 01.00 saya dan Alix sudah
siap di dermaga karena menurut info, kapal yang akan mengangkut kami ke
Makassar sudah akan sandar pada pukul 24.00 dan kami sudah dapat naik ke kapal
sekitar pukul 02.00 dan akan berangkat pada pukul 05.00. Setelah menunggu cukup
lama dan mendapat teman-teman baru, mengobrol dengan calon-calon penumpang
lain, keamanan pelabuhan dan supir-supir truk, akhirnya kapal yang
akan mengangkut kami sandar juga pada pukul 07.00. Pukul 08.00
kendaraan-kendaraan kecil sudah dipersilakan naik ke kapal.
Antrian pertama di Tanjung Perak |
Pagi hari di Tanjung Perak |
Kapal yang kami tumpangi adalah KM Dharma Kartika IX, terdiri dari 3 dek untuk mengangkut kendaraan. Dek paling atas dan tengah adalah untuk kendaraan-kendaraan besar sedangkan kendaraan-kendaraan yang lebih kecil di dek yang paling bawah. Keadaan kapal KM Dharma Kartika IX cukup baik dan bersih dan suasananya cukup tenang dibandingkan pengalaman-pengalaman kami pada perjalanan overland yang biasanya hiruk pikuk serta berjejalan baik kendaraan maupun dengan sesama penumpang.
Ruang-ruang di kapal semua air-conditioned terdiri dari ruang duduk
penumpang, ruang tidur penumpang, ruang tidur sopir, mushalla dan kafetaria di
bagian tengah dan buritan.
Saya dan Alix memesan tiket di
bagian informasi untuk dapat menempati ruang VIP dengan tarif Rp. 30.000 per
orang. Ruang VIP terdiri dari reclining
seats, sofa-sofa panjang yang lumayan untuk tidur berselonjor, 2 toilet dan
kamar mandi tersendiri, meja-meja untuk makan, bar, 4 buah televisi layar
lebar, CCTV dan AC yang dingin. Kapasitasnya dapat memuat sekitar 30an orang
namun pada saat itu hanya terisi sekitar 15an penumpang termasuk kami.
Begitu masuk ruang VIP saya langsung tertidur sementara Alix berjalan-jalan di seputar kapal. Pukul 13.00 saya terbangun karena lapar namun ternyata kapal masih belum berangkat juga. Ternyata yang menyebabkan keterlambatan adalah sebuah truk besar yang sudah berkali-kali mencoba untuk masuk ke kapal namun selalu gagal, kemungkinan karena bebannya yang melebihi kapasitas. Setelah akhirnya truk tersebut berhasil naik ke kapal, pukul 15.00 kapal kami pun berangkat.
Truk yang kelebihan muatan beberapa kali mencoba naik kapal |
Tidak lama setelah setelah kapal
bertolak kami mendapatkan pembagian makanan yang diantar ke ruang VIP. Untuk
penumpang lainnya makanan diambil sendiri ke dapur dengan menunjukkan tiket.
Jatah makanan penumpang 3 kali sehari yang terdiri dari nasi putih, lauk,
sayur, buah dan air mineral.
Jatah makanan di Kapal |
18 Desember 2017
Tidak banyak kegiatan yang dapat
kami lakukan sepanjang hari selain makan-tidur, ke musholla dan jalan-jalan di
sekitar kapal. Selepas shalat Magrib, lampu-lampu dari kota Makassar sudah
terlihat. Pukul 19.00 kapal sudah tinggal mengapung saja menunggu kapal tunda
untuk merapatkan ke dermaga.
Pukul 21.00 kapal merapat di Pelabuhan Soekarno-Hatta Makassar. Kendaraan-kendaraan besar pada dek teratas keluar terlebih dahulu dan makan waktu lebih dari 1 jam sampai ramp yang menghubungkan ke dek tengah dibuka dan giliran kendaraan-kendaraan di dek tengah untuk keluar. Pada dek tengah terjadi masalah yaitu terdapat sebuah bus besar yang kandas di ramp untuk naik ke dek atas sehingga kami terpaksa menunggu agar dapat lewat. Pukul 24.00 akhirnya kami berhasil turun dari kapal.
Kota Makassar tampak sudah dekat |
Pukul 21.00 kapal merapat di Pelabuhan Soekarno-Hatta Makassar. Kendaraan-kendaraan besar pada dek teratas keluar terlebih dahulu dan makan waktu lebih dari 1 jam sampai ramp yang menghubungkan ke dek tengah dibuka dan giliran kendaraan-kendaraan di dek tengah untuk keluar. Pada dek tengah terjadi masalah yaitu terdapat sebuah bus besar yang kandas di ramp untuk naik ke dek atas sehingga kami terpaksa menunggu agar dapat lewat. Pukul 24.00 akhirnya kami berhasil turun dari kapal.
19 Desember 2017
Hal pertama yang kami lakukan
setelah keluar dari kapal adalah menghubungi teman baru kami, Mas Ahad, yang
telah menunggu kami sejak tadi. Beliau adalah salah satu pencinta Nissan T30
seperti kami yang baru saja terhubung dengan melalui social media. Kami janjian untuk ketemuan di Jl. Sungai Cerekang
sambil minum Sarabba (baca : Sara’ba’), minuman khas Makassar mirip Bandrek
yang terdiri atas jahe, santan kadang ditambah dengan susu kental manis atau
kuning telur mentah. Ngobrol sambil minum sarabba di tengah derasnya hujan kota
Makassar dengan sobat baru sangat berkesan bagi kami yang baru saja turun dari
kapal. Sayangnya kami tidak punya waktu lama karena perjalanan kami masih
panjang sehingga harus pamit dengan Mas Ahad (terima kasih banyak atas
traktirannya dan informasi mengenai SPBU-SPBU yang menjual Pertamax Turbo).
Foto bersama Mas Ahad |
Setelah itu saya sempatkan
menjenguk kerabat yang sedang sakit di Jl. Gunung Merapi sebentar lalu
menjemput Muslim di rumahnya. Tidak lama kemudian kami bertiga mampir di Jl.
Irian untuk makan Sop Saudara 24 jam lalu mengisi BBM. Pukul 02.30 kami start
di tengah derasnya hujan. Di sekitar daerah Pangkep dan Barru banyak genangan
air yang cukup dalam dan perbaikan jalan yang tidak diberi rambu-rambu yang
memadai. Kami sempat hampir menabrak barikade karena tidak disertai rambu yang
jelas bahwa di depan terdapat perbaikan jalan apalagi keadaan jalan yang cukup
gelap ditambah derasnya hujan. Alhamdulillah tidak terjadi hal-hal yang tidak
diinginkan sepanjang perjalanan. Saat shalat Subuh kami mampir di sebuah masjid
di daerah Pare Pare.
Tiba saatnya saya harus
beristirahat setelah shalat dan giliran Muslim memegang kemudi sementara Alix
tetap menjadi navigator karena Muslim baru kali ini mencoba mengemudikan T30
kami yang kondisinya juga sudah tidak standar. Alhamdulillah tidak butuh waktu
lama untuk Muslim dapat beradaptasi dengan kendaraan kami. Sekitar pukul 07.00
saya bangun dan kami sudah masuk Propinsi Sulawesi Barat dimana keadaan lalu
lintasnya ramai, jalanan sempit serta kendaraan roda dua yang jalannya tidak
mau minggir.
Pukul 08.00 kami berhenti di sebuah warung di pinggir pantai bernama Warung Soppeng. Mulanya maksud saya hanya ingin mampir ngopi saja, namun ternyata warung tersebut juga menyediakan hidangan berupa ikan bakar, jadinya kami juga memesan ikan bakar dan nasi goreng untuk sarapan. Makanannya sangat nikmat dengan ikan yang benar-benar segar. Warung Soppeng ini juga termasuk daftar rekomendasi kami bagi pelancong yang melintasi pesisir Sulawesi Barat.
Pukul 08.00 kami berhenti di sebuah warung di pinggir pantai bernama Warung Soppeng. Mulanya maksud saya hanya ingin mampir ngopi saja, namun ternyata warung tersebut juga menyediakan hidangan berupa ikan bakar, jadinya kami juga memesan ikan bakar dan nasi goreng untuk sarapan. Makanannya sangat nikmat dengan ikan yang benar-benar segar. Warung Soppeng ini juga termasuk daftar rekomendasi kami bagi pelancong yang melintasi pesisir Sulawesi Barat.
Pemandangan dari Warung Soppeng |
Setelah makan Muslim masih
memegang kemudi sampai kami tiba di Mamuju, ibukota Sulawesi Barat dan langsung
mampir di Masjid Raya Mamuju untuk mandi dan shalat. Tujuan kami berikutnya
adalah Palu yang berjarak 403 km dari Mamuju. Kami menyusuri pantai barat sulawesi yang tak kalah indahnya.
Di Palu kami akan menjemput Krisna yang menyusul dari Jakarta menggunakan pesawat. Saat Magrib kami tiba di kota Pasangkayu, ibukota Kabupaten Mamuju Utara dan mampir di Masjid Al Madaniah. Masjid ini kelihatannya belum selesai 100 % terlihat dari pekarangannya yang masih ditumbuhi rumput liar yang tinggi. Namun begitu kami masuk ke dalam, kami benar-benar dibuat tercengang dengan kemegahan dan kemewahannya. Luar biasa, selain besar masjid ini berlantai dan berdinding marmer dengan desain yang sangat baik.
Masjid Raya Mamuju |
Menuju Palu |
Di Palu kami akan menjemput Krisna yang menyusul dari Jakarta menggunakan pesawat. Saat Magrib kami tiba di kota Pasangkayu, ibukota Kabupaten Mamuju Utara dan mampir di Masjid Al Madaniah. Masjid ini kelihatannya belum selesai 100 % terlihat dari pekarangannya yang masih ditumbuhi rumput liar yang tinggi. Namun begitu kami masuk ke dalam, kami benar-benar dibuat tercengang dengan kemegahan dan kemewahannya. Luar biasa, selain besar masjid ini berlantai dan berdinding marmer dengan desain yang sangat baik.
Masjid Raya Pasangkayu |
Pukul 21 kami sampai di kota Palu dan langsung menjemput Krisna di Bandara Mutiara. Tidak lama setelah bertemu Krisna kami mencari tempat ngopi di kota Palu sekaligus makan malam. Di Warung Kopi Dottoro saya menjelaskan kepada seluruh anggota tim mengenai rencana perjalanan kami yaitu menuju Manado dan Bitung menyusuri pantai Barat Sulawesi. Dari Bitung renana kami adalah menyeberang dengan ferry ke Ternate, Maluku Utara.
Kota Palu cukup cantik dengan
sungai dan jembatan-jembatan besar berlampu warna-warni terutama pada malam
hari. Kami makan malam di RM Mie Garing Koko karena warung kopi tempat kami
ngopi kehabisan makanan. Makanan yang disajikan semuanya dalam porsi-porsi
besar. Saya jelaskan pada Krisna bahwa orang Sulawesi memang kuat makan
sehingga porsi makanannya pasti besar-besar.
Perjalanan kami lanjutkan menuju
Toli Toli. Kami bermobil sepanjang malam dan shalat Subuh di suatu daerah di
wilayah Kabupaten Toli Toli. Herannya, saya melihat pada rambu penunjuk jarak
bahwa ibukota Kabupaten Toli Toli masih berjarak 130an km dari tempat ini.
Sungguh luas kabupaten ini jika dibandingkan dengan kabupaten-kabupaten di
propinsi lain terutama di pulau Jawa. Menjelang fajar kami melewati banyak
sekali daerah longsor bahkan kami sempat melihat truk yang baru saja terguling
karena kondisi jalan yang buruk akibat longsor. Terlepas dari buruknya jalan
karena longsor, pemandangan pantai barat Sulawesi dengan lautnya yang tenang
sungguh memanjakan mata. Kami sempat beberapa kali mampir untuk mengabadikan
pemandangan.
Sekitar pukul 7 kami mampir di sebuah kota kecamatan dan makan nasi kuning ala Sulsel (karena ibu penjajanya ternyata orang Bugis) dengan lauk mie goreng dan ikan bumbu pedas. Nikmat sekali rasanya, apalagi selain nasi kuning, ibu tersebut juga menjajakan makanan-makanan khas Bugis yang bahkan di Makassar pun sudah jarang ditemukan. Makanan selain nasi kuning itu ada yang bernama Putu Tongka. Putu Tongka ini sejenis kue putu dengan taburan kelapa parut seperti di Jawa namun tidak ada isinya, dimakan dengan sambal tomat yang dicampur dengan ikan. Ada juga bakpau khas Sulawesi yang isinya kacang tanah dengan gula merah atau kelapa parut dengan gula merah. Favorit saya adalah kue berwarna merah terbuat dari tepung singkong dikukus ditaburi kelapa parut berisi pisang bernama Songkolo Bandang.
Sayangnya si ibu penjual nasi kuning ini tidak menjual kopi sehingga untuk ngopi kami harus mencari warung lagi. Ahamdulillah berkah lagi buat kami karena menemukan warung kopi di pinggir laut dengan pemandangan yang luar biasa di daerah Banagan sekitar 30 menit berkendara dari tempat nasi kuning. Dasar laut terlihat jelas dari atas dengan laut yang tenang. Sayang kopinya tidak enak.
Sekitar pukul 7 kami mampir di sebuah kota kecamatan dan makan nasi kuning ala Sulsel (karena ibu penjajanya ternyata orang Bugis) dengan lauk mie goreng dan ikan bumbu pedas. Nikmat sekali rasanya, apalagi selain nasi kuning, ibu tersebut juga menjajakan makanan-makanan khas Bugis yang bahkan di Makassar pun sudah jarang ditemukan. Makanan selain nasi kuning itu ada yang bernama Putu Tongka. Putu Tongka ini sejenis kue putu dengan taburan kelapa parut seperti di Jawa namun tidak ada isinya, dimakan dengan sambal tomat yang dicampur dengan ikan. Ada juga bakpau khas Sulawesi yang isinya kacang tanah dengan gula merah atau kelapa parut dengan gula merah. Favorit saya adalah kue berwarna merah terbuat dari tepung singkong dikukus ditaburi kelapa parut berisi pisang bernama Songkolo Bandang.
Sayangnya si ibu penjual nasi kuning ini tidak menjual kopi sehingga untuk ngopi kami harus mencari warung lagi. Ahamdulillah berkah lagi buat kami karena menemukan warung kopi di pinggir laut dengan pemandangan yang luar biasa di daerah Banagan sekitar 30 menit berkendara dari tempat nasi kuning. Dasar laut terlihat jelas dari atas dengan laut yang tenang. Sayang kopinya tidak enak.
20 Desember 2017
Pukul 10.30 kami tiba di kota
Toli Toli dan mampir di SPBU karena Muslim dan Krisna ingin mandi karena
kondisi Toli Toli yang sangat terik dan menyengat panasnya. Saya dan Alix baru
mandi di Masjid Agung Al Mubarak Toli Toli sekalian shalat. Sehabis shalat kami
makan siang di warung sederhana namun nikmat dekat masjid yang menyediakan nasi
campur dan Sop Konro (lagi-lagi makanan Makassar). Satu kegagalan kami dalam
perjalanan ini adalah kami tidak sempat mencoba makanan khas Sulteng yang
bernama Kaledo.
Masjid Toli-Toli |
Perjalanan kami lanjutkan menuju
Buol dan tiba pada pukul 19. Pada saat mencari makan di kota Buol kami melewati
Pos TNI AL Buol dan ternyata Muslim mempunyai teman yang sedang bertugas
disini. Kami mampir dan disambut oleh Mas Maryadi, pejabat Komandan Pos, teman Muslim. Tiada sambutan
hangat jika tanpa ngopi dan ngobrol. Terima kasih Mas Mar atas sambutan yang
hangat di Pos TNI AL Buol.
Sebelum perjalanan kami
lanjutkan, kami mencari SPBU, makan dan menambah logistik untuk di perjalanan
dahulu. Kami makan ikan bakar di sebuah warung kecil bernama Warung Pangkep
(lagi-lagi dari Sulsel). Di warung tersebut kami bertemu dengan Wakapolres Buol
dan ajudan-ajudannya yang bercerita tentang Buol, masyarakatnya dan Doti (ilmu hitam).
Perjalanan kami lanjutkan
sepanjang malam ke arah Popalo melintasi Propinsi Gorontalo. Menurut Krisna
jalan seperti Taman Safari karena banyak sekali hewan ternak yang tidur-tiduran
di tengah jalan. Banyak kami temukan perbaikan
jembatan sampai ke perbatasan Sulawesi Utara.
Kami shalat Subuh di Desa Tolango
dan sarapan pagi di Boroko, Bolaang Mongondow Utara. Menu sarapan kami adalah
Nasi Kuning Manado yang sungguh lezat dengan ibu tua pemilik warung yang ramah
dan baik hati. Selanjutnya perjalanan banyak terhambat oleh kemacetan hampir di
setiap kota kecil yang kami lalui. Rupanya hal ini karena banyaknya warga yang
berbelanja keperluan Natal. Saya agak memacu kendaraan karena kami mengejar
waktu agar dapat sampai di Bitung pada waktunya dan dapat naik kapal menuju
Ternate. Memasuki kota Manado jalan-jalan padat dan macet, kami harus mengikuti
Google Maps masuk ke jalan-jalan
kecil untuk menghindari kemacetan.
Sejak masuk Sulut kami
terheran-heran melihat angkutan-angkutan umum, kendaraan pribadi, truk, bahkan
sebuah trailer yang sedang mengangkut kontainer yang menyetel musik dengan
sangat kencang di kendaraannya.
Kami tiba di Pelabuhan Bitung
sekitar pukul 15. Saya langsung menuju ke loket pembelian tiket. Kapal masih
belum berangkat, namun ternyata tiket untuk kendaraan sudah tidak dijual lagi
karena kapal sudah penuh. Kami disarankan untuk mendaftar antrian untuk
penyeberangan esok sore saja. Akhirnya kami memutuskan untuk mengurungkan
perjalanan ke Ternate. Kami mampir shalat di Masjid Riibathul Quluub Pelabuhan
Bitung lalu mampir ngopi sambil makan singkong dan pisang goreng khas Manado
yang dimakan dengan sambal. Disini kami merundingkan rencana alternatif kami
sekaligus menentukan rute selanjutnya. Kami memutuskan untuk bermalam di Manado
dan besok melanjutkan perjalanan menuju Luwuk melalui Tomohon, Kotamobagu,
Gorontalo dan Poso. Alix mencari hotel melalui Traveloka dan kami memilih Hotel
Genio yang terletak di Jl. Kol. Sugiyono kota Manado. Ini akan jadi malam
pertama kami ketemu kasur.
Pukul 18.50 kami check in di
Hotel Genio, hotel yang lumayan bersih dan murah. Setelah mandi dan shalat kami
keluar hotel dengan berjalan kaki melihat-lihat kota Manado. Kami menemukan
sebuah rumah makan yang kelihatannya masih baru, namanya Ikan Bakar dan Rumah
Kopi Kanaka di Jl. Walanda Maramis. Kami memesan makanan berupa ikan bakar Bobara,
ikan Mujair goreng serta Cumi bakar yang disajikan dengan bumbu rica-rica dan
dimakan dengan sambal dabu-dabu khas Manado.
22 Desember 2017
Selepas sarapan di hotel kami
segera berangkat ke arah Sulawesi Tengah namun melalui sisi timur Sulawesi
Utara. Perhentian pertama kami adalah di Tomohon untuk melihat Pasar Ekstrem
yang terdiri dari penjualan daging dan hewan hidup yang tidak lazim di
daerah-daerah lain seperti anjing, tikus, ular, kucing, kelelawar dan
lain-lain. Saya tidak ikut masuk karena merasa tidak nyaman membayangkan
hewan-hewan yang biasa jadi peliharaan akan dijadikan menu masakan. Hanya Alix,
Krisna dan Muslim saja yang masuk ke dalam pasar. Sebagai informasi, pasar
tersebut juga terkenal dengan bau anyir dari darah hewan-hewan yang akan
dijadikan masakan tersebut.
Dari Pasar Ekstrem kami segera
mencari masjid terdekat untuk jumatan. Kami jumatan di Majid Al Mujahidin
Tomohon. Yang unik dari masjid ini setelah jumatan jamaah dibagikan nasi dengan
lauk pauk dalam kotak untuk makan siang. Kami sepakat untuk memberikan jatah
nasi tersebut kepada orang-orang yang menurut kami lebih berhak mendapat
bantuan di jalan.
Selama di Sulut kami menemukan keunikan pada warung-warung tempat makan di
pinggir jalan yaitu pada menu masakan yang disediakan. Kami menemukan warung
yang menjual Coto (Makassar) Ba (bak dalam bahasa tionghoa berarti daging
babi), Konro Iga Ba, dan jenis makanan lain yang di daerah lain tidak
menggunakan daging babi. Kami memilih
warung makan sederhana milik ibu pendatang dari Jawa untuk makan siang.
Perjalanan kami selanjutnya
banyak melalui pantai timur Sulawesi yang tidak kalah indahnya dengan pantai
barat. Jalan berliku-liku naik turun gunung sepanjang jalan menuju Kotamobagu.
Kami tiba di Kotamobagu sekitar pukul 17.30 dan mampir di Masjid Raya
Kotamobagu yang sedang direnovasi. Pada saat akan kembali ke mobil, kami
dikagetkan dengan suara gaduh seseorang dengan pengeras suara bernada marah.
Rupanya tidak jauh dari masjid terdapat sebuah kampus perguruan tinggi (Universitas
Dumoga Kotamobagu) dan sedang ada demo mahasiswa di pekarangannya. Karena ingin
tahu kami beserta warga sekitar menonton acara unjuk rasa tersebut dahulu.
Sebelum melanjutkan perjalanan
kami mampir makan malam dan ngopi di sebuah rumah kopi. Saya mencoba kopi lokal
yang ditumbuk sendiri yang dinamakan Kopi Dinodok. Rasanya lumayan hanya kurang
kental menurut lidah saya sehingga pada cangkir kedua saya minta dibuatkan yang
lebih kental dan pekat. Benar saja cangkir kedua jauh lebih nikmat.
Di Kotamobagu ini bentor-bentor
(becak motor) cukup unik penampilannya, dibuat seperti untuk kendaraan balap
dan tidak ketinggalan dilengkapi dengan audio yang memekakkan gendang telinga.
Sekitar pukul 00.00 di pinggir
sebuah kampung di wilayah Bolaang Timur, kami menghentikan kendaraan untuk
melihat bintang-bintang di langit yang bersih dan daerah yang gelap gulita.
Alix tidak melewatkan kesempatan ini dan segera mengambil kamera, tripod dan perlengkapan fotografinya.
Alix dan Krisna bereksperimen dengan lukisan-lukisan menggunakan cahaya. Muslim
memegangi senter menunggu instruksi dari fotografer (guru dan murid). Saya
hanya duduk di atas kursi lipat kecil sambil merokok saja. Benar-benar akan
jadi pengalaman tak terlupakan di tengah sunyi dan kegelapan malam di pedalaman Sulawesi.
Perjalanan kami lanjutkan lagi
semalaman dan subuh kami telah tiba di kota Gorontalo. Kami shalat subuh di
Masjid Baiturrahman, Isimu.
23 Desember 2017
Pukul 9 pagi kami tiba di
perbatasan Sulawesi Tengah dan mampir untuk berfoto. Sekiitar pukul 10 kami
singgah di SPBU di wilayah Kabupaten Parigi Moutong.
Kebetulan di depan SPBU terdapat sebuah warung kopi dan kebetulan kami belum ngopi sejak pagi. Warung ini dijaga oleh seorang ibu yang ramah namun selalu menutupi leher dan mulutnya dengan kain semacam syal. Kami pikir ini hanya kebetulan saja namun setelah melihat ke foto-foto yang terpasang di dinding, tampak ibu itu juga menutup leher dan mulutnya dengan kain semacam syal. Kelihatannya ia menutupi semacam luka bakar karena di tangannya terdapat bekas luka bakar yang cukup parah. Kopi yang disajikan rasanya biasa saja namun makanan kecil yang ada sangat menggugah selera. Favorit saya adalah roti goreng berisi kelapa parut dengan gula merah yang masih segar dan hangat. Saya sempat bertanya kepada ibu warung tersebut berapa jauh jarak ke ibukota kabupaten. Kelihatannya ibu tersebut bingung karena ditanya masalah jarak. Ia hanya mengatakan jauh sekali dan masih berjam-jam perjalanan. Pada saat itu saya merasa bahwa ibu pemilik warung tersebut kurang mengerti pertanyaan saya sehingga menjawab dengan ngawur. Tak lama kemudian datang ke warung seorang anggota polisi untuk makan. Beliau makan sambil mengobrol dengan kami dan kemudian saya utarakan pertanyaan yang sama seperti yang telah saya sampaikan kepada si ibu warung tadi. “Kira-kira berapa jauh perjalanan dari warung ini ke ibukota kabupaten?” Polisi muda tersebut menjawab bahwa lama perjalanan dari tempat ini ke ibukota kabupaten adalah sekitar 5 jam. Saya takjub dengan jawaban itu karena dalam bayangan saya 5 jam di Jawa itu sudah cukup untuk melintasi beberapa kabupaten sekaligus. Saya jadi teringat rambu penunjuk jarak di Kabupaten Toli Toli. Kesimpulan saya, Sulawesi Tengah ini luas sekali dan kelihatannya akan dimekarkan.
Kebetulan di depan SPBU terdapat sebuah warung kopi dan kebetulan kami belum ngopi sejak pagi. Warung ini dijaga oleh seorang ibu yang ramah namun selalu menutupi leher dan mulutnya dengan kain semacam syal. Kami pikir ini hanya kebetulan saja namun setelah melihat ke foto-foto yang terpasang di dinding, tampak ibu itu juga menutup leher dan mulutnya dengan kain semacam syal. Kelihatannya ia menutupi semacam luka bakar karena di tangannya terdapat bekas luka bakar yang cukup parah. Kopi yang disajikan rasanya biasa saja namun makanan kecil yang ada sangat menggugah selera. Favorit saya adalah roti goreng berisi kelapa parut dengan gula merah yang masih segar dan hangat. Saya sempat bertanya kepada ibu warung tersebut berapa jauh jarak ke ibukota kabupaten. Kelihatannya ibu tersebut bingung karena ditanya masalah jarak. Ia hanya mengatakan jauh sekali dan masih berjam-jam perjalanan. Pada saat itu saya merasa bahwa ibu pemilik warung tersebut kurang mengerti pertanyaan saya sehingga menjawab dengan ngawur. Tak lama kemudian datang ke warung seorang anggota polisi untuk makan. Beliau makan sambil mengobrol dengan kami dan kemudian saya utarakan pertanyaan yang sama seperti yang telah saya sampaikan kepada si ibu warung tadi. “Kira-kira berapa jauh perjalanan dari warung ini ke ibukota kabupaten?” Polisi muda tersebut menjawab bahwa lama perjalanan dari tempat ini ke ibukota kabupaten adalah sekitar 5 jam. Saya takjub dengan jawaban itu karena dalam bayangan saya 5 jam di Jawa itu sudah cukup untuk melintasi beberapa kabupaten sekaligus. Saya jadi teringat rambu penunjuk jarak di Kabupaten Toli Toli. Kesimpulan saya, Sulawesi Tengah ini luas sekali dan kelihatannya akan dimekarkan.
Kami akhirnya mampir makan siang
sekitar pukul 13 masih di wilayah Kabupaten Parigi Moutong yang luas ini, di
sebuah warung sederhana di depan masjid yang memiliki kamar mandi yang bersih
dan air bersih yang berlimpah. Krisna dan Muslim tidak menyia-nyiakan
kesempatan untuk mandi.
Selepas itu kami melalui kampung-kampung
yang suasananya seperti di pedesaan Bali. Pura, Tugu Karang, pagar rumah khas
Bali dan canang berserakan di jalan. Rupanya ini adalah perkampungan
transmigran-transmigran Bali yang sudah sukses di Sulteng ini. Sampai mendekati
kota Poso masih terdapat kampung-kampung transmigran Bali.
Pukul 19.30 kami tiba di kota
Poso dan mampir di RM Raja Mujair untuk makan malam. Sembari menunggu makanan
dihidangkan kami berunding lagi mengenai rencana perjalanan ke Luwuk. Setelah
diperhatikan dengan lebih teliti, ternyata jalan dari Poso ke arah Luwuk hanya
satu, jadi jika kami berangkat ke Luwuk, maka kembalinya harus melalui jalan
yang sama dengan pada saat berangkat. Hal ini diperkuat dengan informasi dari
teman saya yang tinggal di Luwuk yang saya hubungi melalui telpon. Kami
menghindari sebisa mungkin rute seperti ini. Akhirnya kami putuskan untuk tidak
jadi ke arah Luwuk, bermalam semalam di Poso, besok akan melanjutkan perjalanan
ke arah Tentena, Mangkutana, Malili dan Sorowako. Rencanapun kami ubah dengan
memasukkan Pulau Selayar sebagai salah satu tempat tujuan. Alix segera browsing penginapan-penginapan di kota
Poso dan menemukan sebuah losmen yang mendapat review paling banyak dan positif, namanya Losmen Pandawa. Kami
sepakat untuk bermalam di losmen tersebut. Setelah makan saya keluar dari rumah
makan untuk melihat-lihat jalanan kota Poso dan saya terkejut karena ternyata Losmen
Pandawa berada persis di samping rumah makan ini.
24 Desember 2017
Setelah shalat Subuh saya dan
Alix berjalan-jalan pagi berharap dapat duduk-duduk
di tepi pantai sambil ngopi dan sarapan. Krisna dan Muslim masih lengket dengan
kasurnya dan hanya sempat berkata akan menyusul kami. Setelah berjalan kaki
kurang lebih 2 km kami belum mendapatkan bibir pantai yang berada di pinggir
jalan kami. Rupanya untuk ke bibir pantai kami harus terlebih dahulu masuk ke
perkampungan penduduk yang rumah-rumahnya persis di pinggir laut. Akhirnya saya
putuskan balik dan menuju Warung Kopi Karezota yang kami lalui pada saat
berangkat tadi. Tak lupa kami mampir ke sebuah kedai yang menjual banyak sekali
kue-kue tradisional untuk membeli kue-kue sebagai teman ngopi.
Kami berempat ngopi di Warkop
Karezota sambil ngobrol dengan warga setempat yang sedang ngopi di warkop ini
juga. Obrolan tidak jauh dari masalah kerusuhan Poso beberapa tahun silam.
Menurut warga lokal mereka sudah hidup berdampingan antara warga Muslim dan
Nasrani sejak lama dan rukun-rukun saja. Kerusuhan justru dipicu oleh campur
tangan dari luar Poso yang menjadikan Poso sebagai ajang pertempuran antar
agama. Sebelumnya jika terjadi keributan dianggap hanya antar individu atau
antar kelompok tanpa mengaitkan perbedaan keyakinan. Sekarang Poso sudah tenang
dan semoga untuk seterusnya akan seperti ini. Pada obrolan ini kami juga disarankan
untuk mampir di Tentena, kota wisata di pinggir Danau Poso dalam perjalanan
menuju perbatasan Sulawesi Selatan. Warkop Karezota masuk dalam rekomendasi
tempat ngopi di Poso. Kopinya enak, orang-orangnya ramah.
Setelah mandi kami check out dari Losmen Pandawa menuju
Tentena yang berjarak hanya 60an kilometer. Dari Tentena kami sudah memiliki
rencana rute yang akan kami lewati menuju perbatasan Sulsel, yaitu melalui
jalan kecil menyusuri tepian Danau Poso sesuai arahan Google Maps.
Di tengah perjalanan menyusuri Danau Poso terebut kami menemukan spot bagus untuk dapat turun ke danau. Ternyata hanya saya yang punya keinginan berenang di Danau Poso. Dasar danau berupa pasir yang sangat lembut serta tanaman air sejenis rumput-rumputan, makin ke tengah dasarnya makin lembut menyerupai lumpur. Tidak lama saya bermain air di danau ini kemudian segera mengeringkan diri dan berpakaian kembali.
Ternyata di dekat mobil kami ada dua orang pemuda setempat yang sedang mencari bahan untuk tempat lilin guna perayaan Natal di gereja mereka malam nanti. Mereka adalah Apong dan Deni. Dari mereka jugalah kami diberitahu bahwa jalan yang disarankan oleh Google Maps itu belum tembus, baru dapat dilalui oleh sepeda motor saja, namun mereka akui jalan tersebut sangat banyak memotong dan menghemat jarak tempuh. Kami mengobrol masaah kerusuhan Poso juga dengan mereka dan kami dapati pendapat yang sama dari pihak kaum Nasrani seperti pihak kaum Muslim di kota Poso : “Pihak luar yang memprovokasi warga Poso bahwa yang mereka hadapi adalah perang antar agama”. Andai saja tidak ada campur tangan dari pihak luar mungkin kerusuhan Poso tidak akan terjadi. Dari Apong dan Deni pula kami mendapat info mengenai tempat makan yang enak di Tentena, RM Ongga Bale. Sayangnya mereka tidak mau kami ajak makan bersama di Ongga Bale karena mereka masih harus menyiapkan perayaan Natal malam nanti. Thanks anyway Apong and Deni.
Di tengah perjalanan menyusuri Danau Poso terebut kami menemukan spot bagus untuk dapat turun ke danau. Ternyata hanya saya yang punya keinginan berenang di Danau Poso. Dasar danau berupa pasir yang sangat lembut serta tanaman air sejenis rumput-rumputan, makin ke tengah dasarnya makin lembut menyerupai lumpur. Tidak lama saya bermain air di danau ini kemudian segera mengeringkan diri dan berpakaian kembali.
Ternyata di dekat mobil kami ada dua orang pemuda setempat yang sedang mencari bahan untuk tempat lilin guna perayaan Natal di gereja mereka malam nanti. Mereka adalah Apong dan Deni. Dari mereka jugalah kami diberitahu bahwa jalan yang disarankan oleh Google Maps itu belum tembus, baru dapat dilalui oleh sepeda motor saja, namun mereka akui jalan tersebut sangat banyak memotong dan menghemat jarak tempuh. Kami mengobrol masaah kerusuhan Poso juga dengan mereka dan kami dapati pendapat yang sama dari pihak kaum Nasrani seperti pihak kaum Muslim di kota Poso : “Pihak luar yang memprovokasi warga Poso bahwa yang mereka hadapi adalah perang antar agama”. Andai saja tidak ada campur tangan dari pihak luar mungkin kerusuhan Poso tidak akan terjadi. Dari Apong dan Deni pula kami mendapat info mengenai tempat makan yang enak di Tentena, RM Ongga Bale. Sayangnya mereka tidak mau kami ajak makan bersama di Ongga Bale karena mereka masih harus menyiapkan perayaan Natal malam nanti. Thanks anyway Apong and Deni.
Ongga Bale merupakan rumah makan
yang berdiri di atas Danau Poso dan menyajikan masakan ikan air tawar. Kami
memesan ikan Mujair goreng, ikan Lele bakar dan ikan Mujair woku. Nikmatnya
luar biasa makanan yang disajikan. Tidak akan cukup kami ungkapkan dengan
kata-kata. Ongga Bale sangat sangat kami rekomendasikan.
Lele Bakar |
Perjalanan kami lanjutkan sampai kembali masuk ke wilayah Sulawesi Selatan. Sesampai di ibukota Kabupaten Luwu Timur, Malili, kami sudah ditunggu oleh sahabat satu SD saya dan Muslim yaitu Atjo Zulkarnain. Kami dijamu di rumah makan yang nampaknya sudah mau tutup (waktu sudah menunjukkan pukul 21 lebih), namun menu makanannya benar-benar spektakuler. Rumah makan ini bernama RM Fama. Ikan bakar Baronang yang dibakar dengan cara tersendiri sehingga dagingnya tetap juicy dengan Lawah, makanan berupa sayuran seperti Lawarnya orang Bali dipadukan dengan urapnya orang Jawa namun dicampur dengan jantung pisang.
Tidak terasa keenakan makan sambil ngobrol membuat kami sampai lupa berfoto dengan Atjo. Terima kasih banyak Atjo atas sambutan dan jamuannya, semoga kami dapat membalas menjamu anda kalau nanti berkunjung ke Jakarta.
Selepas berpisah dengan Atjo kami
melanjutkan perjalanan menuju Sorowako dimana kami sudah ditunggu oleh kakak
saya, Mas Pandu. Waktu sudah menunjukkan pukul 22.30 ketika kami tiba di
Sorowako, kota tambang nikel yang dikuasai oleh PT Vale d/h INCO. Sebenarnya Mas
Pandu ingin menunjukkan keindahan pada saat dituangnya slack hasil tambang berupa logam cair ke dalam pond penampungan. Kendaraan-kendaraan berat mengangkut cawan-cawan
raksasa berisi logam cair bersuhu 1.700 derajat Celsius menuangkan ke dalam
tempat-tempat penampungan. Pada saat itu langit akan kelihatan memerah terang
di tengah kegelapan sekitarnya. Keadaan inilah yang sebenarnya ingin diabadikan
oleh Alix dan Krisna yang gemar memotret namun sayangnya belum rejeki karena
tempat pembuangan slack pada malam
itu berada pada tempat yang agak jauh dari yang diharapkan. Kalau beruntung
kami mestinya dapat lokasi penuangan yang satunya yang dapat kelihatan lebih
jelas dan lebih dekat untuk diabadikan.
Di rumah Mas Pandu kami diberi
minuman hangat dan disediakan kamar tidur.
25 Desember 2017
Pagi-pagi kakak ipar saya Mbak
Lucky (beliau ini jagonya masak) sudah menyiapkan sarapan yang luar biasa, ikan
bakar, ikan Kerapu goreng tepung, udang goreng mentega, semur jengkol dan
sambal ikan Gabus asap. Setelah makan Mas Pandu mengajak kami keliling
Sorowako, kota di pinggir Danau Matano, menunjukkan perumahan, sekolah, bandara,
rumah sakit milik dan fasilitas-fasilitas lain yang dimiliki oleh PT Vale.
Beliau juga mengantar kami ke dermaga penyeberangan danau. Disini kami melihat
kapal-kapal kecil berlunas dua semacam catamaran
yang dapat menyeberangkan kendaraan baik roda dua, empat maupun bus besar.
Rute paling jauh adalah sampai ke Kolonodale yang memakan waktu sampai 3 jam
penyeberangan. Saya agak ngeri melihat penyeberangan dengan kapal-kapal kecil
itu mengingat Danau Matano adalah danau terdalam nomor 4 di dunia dengan
kedalaman mencapai 600 meter.
Siangnya kami diajak makan di
Warung Pangkep Wawondula. Makan sop saudara dan ikan Bandeng bakar. Setelah
makan kami langsung berangkat menuju Kolaka, Sulawesi Tenggara, namun
sebelumnya kami diajak mampir dulu oleh Mas Pandu dan Mbak Lucky di sebuah
kedai yang menjual penganan ringan yang diberi nama Tori Tori. Terbuat dari
tepung ketan dan kelapa dengan perasa gula merah ditaburi wijen dan digoreng
garing. Rasanya enak sekali. Sepanjang jalan ke Kolaka kami tidak berhenti ngemil
Tori Tori.
Sebelum berangkat menuju Kolaka
sebenarnya kami sudah diperingatkan bahwa tidak akan menemukan SPBU dalam jarak
yang cukup jauh namun entah karena lupa atau bandel kami lalai mengisi BBM di
Sorowako yang hanya menjual BBM jenis premium saja. Benar saja jalan yang kami
lalui menuju Sulawesi Tenggara berupa hutan-hutan berkelok-kelok naik turun
perbukitan dan jarang ketemu kampung. Lampu indikator BBM sudah menyala
sementara kami belum menemukan kampung terdekat untuk mengisi BBM. Akhirnya sampai
juga ke perkampungan dan ketemu warung yang menjual BBM botolan. Kami mengisi
premium 10 liter dengan harga 100 ribu Rupiah.
Pertimbangannya adalah tidak jauh lagi akan bertemu SPBU resmi untuk mengisi BBM penuh pada tangka kami. Setelah melanjutkan perjalanan sekitar 30 menit kami masih belum menemukan SPBU juga akhirnya kami putuskan menambah kembali isi tangka dengan BBM botolan di pinggir jalan. Untungnya kali ini kami dapat mengisi 10 liter Pertalite dengan harga yang sama dengan premium pada pengisian sebelumnya, berarti SPBU sudah tidak terlalu jauh lagi. Benar saja, 30an menit kemudian kami akhirnya menemukan SPBU resmi sebelum kota Lasusua, Kolaka Utara.
Pertimbangannya adalah tidak jauh lagi akan bertemu SPBU resmi untuk mengisi BBM penuh pada tangka kami. Setelah melanjutkan perjalanan sekitar 30 menit kami masih belum menemukan SPBU juga akhirnya kami putuskan menambah kembali isi tangka dengan BBM botolan di pinggir jalan. Untungnya kali ini kami dapat mengisi 10 liter Pertalite dengan harga yang sama dengan premium pada pengisian sebelumnya, berarti SPBU sudah tidak terlalu jauh lagi. Benar saja, 30an menit kemudian kami akhirnya menemukan SPBU resmi sebelum kota Lasusua, Kolaka Utara.
Kami tiba di kota Lasusua,
ibukota Kabupaten Kolaka Utara sekitar pukul 17.30 dan segera mampir di pinggir
pantai dekat sebuah masjid besar yang dalam tahap penyelesaian pembangunan.
Suasana pantai saat itu ramai dengan warga setempat yang duduk-duduk sambil
menikmati sore. Sayangnya tidak ada penjaja kopi. Kami beristirahat sebentar
sambil mengobrol dengan warga sekitar menunggu waktu Magrib.
Setelah shalat kami melanjutkan perjalanan menuju Kolaka yang masih berjarak sekitar 200an kilometer lagi.
Setelah shalat kami melanjutkan perjalanan menuju Kolaka yang masih berjarak sekitar 200an kilometer lagi.
Kami tiba di Kolaka sekitar pukul
21.45 dan segera menuju pelabuhan penyeberangan ke Bajoe, Bone, Sulawesi
Selatan. Di gerbang pelabuhan kami disambut oleh orang-orang yang menanyakan
apakah kami akan menyeberang dan menawarkan jasa untuk membantu. Rupanya mereka
adalah para calo. Kami acuhkan saja para calo dan menuju ke loket resmi untuk
membeli tiket penumpang dan kendaraan sendiri. Pukul 22.00 kami langsung naik
ke kapal dan dijadwalkan kapal akan bertolak pada pukul 23.00.
Begitu masuk kapal kami bertemu dengan seorang ABK yang bernama Pak Mulyadi yang mengajak ngobrol dan berlanjut dengan menawarkan untuk menyewakan kamar kepada kami. Kamar tersebut merupakan kamar ABK yang terdiri atas dua tempat tidur susun dan ber-AC. Cukup nyaman untuk kami berempat dengan hanya membayar 150 ribu Rupiah. Sesampai di kamar saya, Alix dan Krisna langsung tertidur pulas sementara Muslim masih diluar mengobrol dengan para ABK.
Begitu masuk kapal kami bertemu dengan seorang ABK yang bernama Pak Mulyadi yang mengajak ngobrol dan berlanjut dengan menawarkan untuk menyewakan kamar kepada kami. Kamar tersebut merupakan kamar ABK yang terdiri atas dua tempat tidur susun dan ber-AC. Cukup nyaman untuk kami berempat dengan hanya membayar 150 ribu Rupiah. Sesampai di kamar saya, Alix dan Krisna langsung tertidur pulas sementara Muslim masih diluar mengobrol dengan para ABK.
Bersama Pak Mulyadi |
26 Desember 2017
Subuh saya bangun untuk menuju
mushalla dan berpikir bahwa sudah separuh perjalanan menuju Bajoe telah
ditempuh oleh kapal ini. Sebagai informasi penyeberangan Kolaka-Bajoe ini
mestinya ditempuh dalam waktu 8 jam, jika kapal bertolak on time pada pukul
23.00 berarti kami dijadwalkan tiba di Bajoe pada pukul 07.00 WITA. Belakangan
saya baru tahu bahwa ternyata kapal baru bertolak pukul 03.00 pagi.
Penumpang beristirahat bergeletakan di anjungan kapal |
Jadwal kapal penyeberangan ke Selayar adalah pukul 15.30. Saya segera memacu kendaraan menuju Bira untuk mengantisipasi antrian kendaraan untuk menyeberang ke Selayar. Kami melalui jalan yang disarankan oleh Google Maps yang ternyata bukan merupakan jalan utama. Jalan kecil perkampungan yang memotong jarak tempuh lumayan panjang dibandingkan jika melalui jalan utama melalui ibukota Kabupaten Sinjai.
Kami tiba di Bira pada pukul
13.00 dan langsung menuju loket tiket penyeberangan. Alhamdulillah kondisi
pelabuhan masih lengang tanpa antrian kendaraan. Setelah shalat dan mandi di
masjid pelabuhan, pukul 14.00 kami langsung naik ke kapal. Kapal yang kami
tumpangi bernama KM Lestari Maju yang dioperasikan oleh pihak swasta. Kondisi
kapal bobrok dan tidak terawat. Sambil menunggu keberangkatan Muslim
menghabiskan waktu dengan memancing bersama warga sekitar pelabuhan di dermaga.
Saya mencari penjual nasi bungkus karena kami belum makan sama sekali sejak
dari Bajoe. Alix dan Krisna sempat makan bakso di dermaga.
Pukul 16.00 KM Lestari Maju
bertolak dari Bira menuju Selayar. Di sekitar kapal banyak terparkir
kapal-kapal pinisi bagus dan mewah yang kelihatannya milik pribadi orang-orang
asing yang dipesan dari Tanaberu, daerah di dekat Bira yang terkenal sebagai
kampung produsen pinisi ternama.
Suasana laut tenang tidak berombak
menemani pelayaran kami menuju Pamatata, Pelabuhan di Pulau Selayar. Di
pertengahan penyeberangan antara Bira - Pamatata kami melintasi Pulau Pasi (di Google Maps disebut sebagai Pasitanete) yang
berdasarkan surat-surat yang dikeluarkan oleh pemerintah kolonial Belanda
adalah milik kakek saya. Saat ini di pulau tersebut berdiri satu kampung yang
dipimpin oleh seorang kepala desa. Dulu setiap orang yang ingin tinggal di
pulau tersebut datang ke rumah kakek saya di Selayar untuk meminta ijin.
Di dermaga kami telah ditunggu oleh sepupu saya, Ibrahim, yang menyampaikan bahwa kami diminta mampir di rumah Kepala Desa Tanete. Kami segera meluncur ke rumah Pak Kades, Iskandar, yang masih merupakan kerabat saya. Disini kami sudah disiapkan makan malam yang terdiri dari berbagai jenis makanan hasil laut, namun yang merupakan favorit kami adalah cumi asap yang dimasak tanpa dibuang tintanya. Setelah makan malam kami masih mengobrol dengan kerabat-kerabat yang ada di rumah Pak Kades.
Pukul 20an kami melanjutkan ke
rumah kakek saya di daerah Bontokadatto yang berada di tengah perkebunan. Jalan
menuju kesana lumayan jelek karena aspal sudah mengelupas, berlubang dengan
beberapa kubangan berlumpur yang harus dilewati. Setiba di Bontokadatto kami
bersantai di teras rumah panggung kakek saya dan lagi-lagi disuguhi berbagai
macam makanan dan kopi. Kami mengobrol dengan kerabat-kerabat saya sampai jam 3
pagi.
27 Desember 2017
Setelah shalat Subuh, kami sudah
disuguhi dengan goreng pisang tanduk dan pisang raja serta kopi. Sekitar pukul
6.30 kami pergi jalan-jalan ke pantai Laparia. Pantai ini merupakan pantai
karang yang berada di teluk kecil di Timur Pulau Selayar.
Sehabis sarapan kami langsung berkemas untuk balik ke daratan Sulawesi.
Pertama-tama kami segera memesan tiket kapal penyeberangan yang siang di Pelabuhan Pamatata. Setelah mendapat kepastian bahwa kami dapat tiket kami menuju ke Pantai Tannera dimana kerabat-kerabat saya telah menyiapkan acara bakar-bakar ikan di pinggir laut.
Sehabis sarapan kami langsung berkemas untuk balik ke daratan Sulawesi.
Pertama-tama kami segera memesan tiket kapal penyeberangan yang siang di Pelabuhan Pamatata. Setelah mendapat kepastian bahwa kami dapat tiket kami menuju ke Pantai Tannera dimana kerabat-kerabat saya telah menyiapkan acara bakar-bakar ikan di pinggir laut.
Saya, Krisna, Muslim dan Alix
bermain di laut yang tenang. Pantai ini sangat baik untuk snorkeling dengan pemandangan bawah laut yang luar biasa indah.
Terumbu-terumbu karang serta ikan-ikan dengan berbagai warna terang berenang
tanpa merasa takut dengan kehadiran manusia.
Setelah puas bermain di laut kami segera bilas dan makanan pun telah tersedia, ikan bakar dimakan dengan nasi santan (semacam nasi uduk ala Selayar). Penutupnya adalah Saronsong, air dan daging kelapa muda yang dicampur dengan gula merah.
Setelah puas bermain di laut kami segera bilas dan makanan pun telah tersedia, ikan bakar dimakan dengan nasi santan (semacam nasi uduk ala Selayar). Penutupnya adalah Saronsong, air dan daging kelapa muda yang dicampur dengan gula merah.
Pukul 13.30 kami segera menuju
Pelabuhan Pamatata dan langsung naik ke kapal. Kali ini kami diangkut oleh KM
Bontoharu yang dioperasikan oleh ASDP.
Pukul 14.30 kami meninggalkan Pulau Selayar dengan perasaan yang belum puas karena hanya sempat tinggal satu malam saja. Jam 16.30 kami merapat di Pelabuhan Bira. Krisna janjian dengan seorang teman yang sedang berada di Bira untuk ketemuan. Kami ketemuan ngopi-ngopi bersama mas Adept dan makan pancake di Bira Beach Hotel sambil menikmati matahari terbenam.
Pukul 14.30 kami meninggalkan Pulau Selayar dengan perasaan yang belum puas karena hanya sempat tinggal satu malam saja. Jam 16.30 kami merapat di Pelabuhan Bira. Krisna janjian dengan seorang teman yang sedang berada di Bira untuk ketemuan. Kami ketemuan ngopi-ngopi bersama mas Adept dan makan pancake di Bira Beach Hotel sambil menikmati matahari terbenam.
Foto bareng mas Adept |
Jam 20 kami melanjutkan
perjalanan menuju Makassar yang jaraknya sekitar 200an kilometer dari Bira.
Niatnya di kota Bantaeng kami ingin mampir di Warung Coto Kuda yang terkenal
namun ternyata sesampainya di lokasi warung tersebut sudah tutup. Jam 23 kami
tiba di Makassar dan langsung menuju RM Mie Anto. Makanan yang disajikan
merupakan mie yang digoreng kering dan disiram dengan kuah kental atau sebangsa
Ifumie. Setelah makan kami langsung menuju Hotel Aryaduta yang terletak di
pinggir Pantai Losari untuk beristirahat.
28 Desember 2017
Kami sengaja memesan kamar yang
tidak termasuk sarapan karena memang berniat untuk berwisata kuliner di
Makassar. Pagi pertama di Makassar kami awali dengan berjalan kaki menuju
Warung Coto Ranggong yang tidak jauh dari hotel dan termasuk warung coto yang
paling pagi bukanya. Setelah itu kami lanjutkan berjalan kaki menuju Toko Kopi
Ujung di Jalan Somba Opu. Toko ini adalah toko tua yang tadinya hanya menjual
kopi dengan merek sendiri, namun sekarang lebih menjadi toko oleh-oleh dan
memiliki barista yang siap membuatkan kopi sesuai selera. Saya memesan Filtered Coffee dari jenis Enrekang
Kalaciri sedangkan yang lain memesan Toraja Kalosi. Nikmat sekali ngopi di Toko
Kopi Ujung.
Setelah berjalan-jalan di Pantai
Losari kami menuju ke agen tiket kapal Dharma Lautan Utama untuk mengambil
tiket kami menyeberang ke Surabaya esok hari. Jadwal kapal kami adalah tanggal
29 Desember 2017 jam 22.00.
Kami makan siang NyukNyang Ati
Raja di Jalan Gunung Merapi. Nyuk Nyang adalah sebutan untuk bakso di Makassar.
Uniknya lagi, di Makassar, bakso sering dimakan dengan buras, sejenis lontong
pipih yang ditanak dengan santan sehingga rasanya gurih.
Malamnya saya janjian ketemuan
dengan teman-teman SD saya di Warkop Az Zahrah di Jalan Bandang. Ngopi-ngopi
sambil makan Kue Barongko yang terbuat dari pisang.
29 Desember 2017
Cerita kami di Makassar akan
terdengar agak membosankan karena hanya tentang makan dan makan lagi. Kami sarapan di Warung Soto Banjar Kantor Pos
kemudian ngopi di warkop disebelahnya,
makan siang di RM Ayam Goreng Sulawesi Jl. Pattimura, ngopi sore di Warkop Dapoer Sulawesi sampai tiba waktunya kami harus segera naik kembali ke kapal untuk menuju ke Surabaya.
makan siang di RM Ayam Goreng Sulawesi Jl. Pattimura, ngopi sore di Warkop Dapoer Sulawesi sampai tiba waktunya kami harus segera naik kembali ke kapal untuk menuju ke Surabaya.
Berat hati kami harus berpisah dengan Muslim yang sudah menemani selama sepuluh hari terakhir ini. Kami naik ke kapal pukul 22 dan bertolak ke Surabaya sekitar pukul 24.00.
Kapal yang kami naiki adalah KM
Kirana IX. Kondisinya lebih jelek daripada KM Dharma Kartika IX yang kami
tumpangi pada saat berangkat.
30 Desember 2017
Tidak banyak cerita pada hari ini
selain makan tidur dan jalan-jalan di kapal. Kondisi laut tidak berombak dan
cuaca cerah sepanjang hari.
Setelah shalat Subuh kami sudah
melihat daratan Madura di sisi kiri kapal. Pukul 10.30 WIB kami turun dari
kapal dan lansung berkendara menuju Jakarta Kami mampir makan siang di Depot
Asih Jaya, Kota Lamongan yang menurut Trip
Advisor merupakan tempat makan Soto
Lamongan yang paling enak. Kami mampir lagi di pinggiran kota Tuban di warung es legen di pinggir jalan.
Kami mampir lagi ngopi dan makan malam di kota Pati yang sedang sibuk mempersiapkan perayaan pergantian tahun.
Kami mampir lagi ngopi dan makan malam di kota Pati yang sedang sibuk mempersiapkan perayaan pergantian tahun.
Perjalanan kami malam itu diwarnai
dengan perayaan-perayaan malam tahun baru.
1 Jauari 2018
Benar2 menginspirasi, keren2 perjalanannya. Salut buat daya tahan tubuh abang2 yg sehat walafiat sepanjang perjalanan. Ditunggu lagi perjalanan2 keren berikutnya
BalasHapusTerimakasih, stay tuned perjalanan selanjutnya ya,,
Hapuskalau mau turing pakai mobil keliling sulawesi dari jawa, minimal uang saku kira2 berapa buat nyeberang bolak-balik, bbm, makan & akomodasi? terima kasih
BalasHapus