Berikut adalah lanjutan cerita perjalanan kami di Sumatera. Kali ini kami akan menjelajahi tempat wisata terkenal di Aceh yaitu Pulau Weh atau biasa disebut Sabang. Perjalanan dimulai dari saat kami boarding kapal menuju Sabang.
Pelabuhan Ulee Lheue – Pelabuhan Balohan
24 Desember 2015
Menurut kami, KMP
Tanjung burang ini sudah melewati kapasitas maksimum penumpang. Jadi kami hanya
dapat beristirahat di koridor dek paling atas yang langsung terjemur oleh sinar
matahari. Kami terjemur dibawah panasnya matahari sampai tubuh kami menghitam. Memang
penuh perjuangan sampai tujuan yang diinginkan.
Pulau Weh sudah
terlihat. Kapal menurunkan kecepatannya. Kami terkejut bahwa banyak lumba-lumba
yang menyambut kami. Bukan 1 atau 2 lumba-lumba yang bisa dilihat, namun
puluhan ekor lumba-lumba bisa kami lihat. Pengalaman ini sangat berbeda
dibanding dengan membayar ratusan ribu rupiah untuk melihat lumba-lumba di
dalam aquarium.
Pelabuhan Balohan Sabang
Pukul 13.30 kami merapat di Pelabuhan Balohan Sabang. Agar tidak mengantre kapal untuk pulang keesokan harinya, kami langsung membeli tiket kapal cepat yang hanya menempuh perjalanan 45 menit. Selagi menunggu supir kami Pak Syawal, kami mengisi perut di warung bakso setempat. Kami juga bertemu keluarga yang berwisata ke Sabang dari Jakarta.
Pak Syawal belum juga
datang, katanya sedang mengisi minyak terlebih dahulu. Kami mencari penginapan
didekat pelabuhan. Banyak yang bilang sudah penuh, namun kami menemukan losmen
yang menyediakan kamar. Dan losmen ini letaknya tepat di seberang pelabuhan.
Namanya Losmen transit kami menyewa 2 kamar. Kami mandi dan shalat sambil
menunggu Pak Syawal menjemput.
Pukul 15.00 kami
berangkat dari Losmen dengan mobil kijang kapsul dengan Pak Syawal. Pertama
kami diantar menuju Tulisan I love Sabang untuk berfoto. Jalanan di Pulau Weh
ini cukup baik, dan sangat sepi. Kata Pak Syawal kata Sabang berasal dari
Santai Banget. Memang sabang ini tidak terlihat sibuk.
Lalu, kami diantar menuju Pantai Sumur Tiga. Pantai Sumur Tiga ini tidak kalah cantiknya dengan pantai-pantai terkenal di Indonesia. Pasirnya yang putih dan lautnya yang biru sangat memanjakan mata.
Pantai Sumur Tiga |
Setelah itu kami diantar menuju snorkeling spot di
Iboih. Namun, sebelum itu kami singgah di warung dengan panorama yang indah.
Kami berempat menikmati panorama sekaligus Kelapa muda yang segar.
Karena lapar kami makan siang di warung sate gurita. Sate gurita adalah hidangan khas Sabang. Bumbunya seperti bumbu-bumbu sate biasanya, namun yang berbeda adalah rasa dari gurita yang lembut dan rasa seafood yang tajam.
Sate Gurita (sumber google) |
Setelah
hari menjelang sore kami diantar Pak Syawal ke objek wisata yang terkenal di
Sabang yaitu Kilometer 0 Indonesia. Jalan menuju Kilometer 0 cukup menantang.
Jalannya kecil dan berbelok-belok tajam. Beberapa tikungan tajam Pak Syawal
harus membunyikan klakson terlebih dahulu. Jalannya juga sedikit berbukit.
Disana terdapat tanjakan yang terkenal akan keberadaannya yaitu Tanjakan
Monyet. Tanjakan tersebut selain curam, juga terkenal akan monyet-monyet yang
menyambut mobil-mobil yang lewat di tepi jalan.
Sampai di Kilometer 0 kami terkejut akan ramainya wisatawan. Kami tidak sempat berfoto di depan monument kilometer 0 karena sedang direnovasi. Dan tulisan “Kilometer 0 Indonesia” diramaikan pengunjung yang berfoto. Jadi kami hanya menikmati matahari terbenam di titik terbarat Indonesia. Lalu kami menuju Kota Sabang untuk mencetak Sertifikat Kilometer 0.
Sertifikat KM 0 |
Dalam perjalanan, kami mampir shalat maghrib di Masjid di daerah Iboih. Setelah shalat kami memperhatikan langit Aceh yang sangat bersih. Kami juga menyaksikan bulan purnama yang terang di Masjid tersebut.
Sehabis
mencetak sertifikat, kami mengusulkan ke Pak Syawal untuk makan malam di tempat
yang sudah kami cari di Internet yaitu Mie Sedap. Sesampai di warung makan mie
sedap, tempatnya sudah sangat ramai, jadi kami menunggu giliran untuk menempati
meja. Mie Sedap ini sebutan lainnya adalah Mie Jalak. Mie ini jauh berbeda dari
Mie Aceh. Mie ini terdapat bumbunya yang khas dan ikan yang dicincang dicampur
diatas mie. Banyak teman mengira kalau makanan khas Sabang ini adalah Mie Sedap
(Merk Mie Instan), padahal bukan itu.
Setelah
itu kami ngopi di Kafe yang terkenal di Sabang, yaitu di kafe De Sagoe Kuphie.
Disana juga terlihat banyak pendatang maupun warga yang minum kupi (kopi) Aceh
sambil bercengkrama dengan teman.
Pukul
22.30 kami kembali ke losmen dan berpamitan dengan Pak Syawal. Lalu kami
beristirahat sampai esok pagi. Besok paginya kami harus segera meninggalkan
Sabang. Pukul 8.00 kapal cepat Express Bahari bertolak dari Pelabuhan Balohan, Sabang
menuju daratan Sumatera. Selamat Tinggal Sabang! (Alix 2016)
Komentar
Posting Komentar